Kristologi dalam Surat Ibrani

 


Di dalam dunia ini, tidak ada orang lain yang lebih diperhatikan riwayat hidupnya daripada Yesus Kristus. Tidak ada pribadi yang telah begitu saksama diteliti, diselami, dan dianalisis, selain Yesus Kristus. Setiap orang percaya dapat mempelajari tentang Kristus melalui Kristologi. Kristologi adalah ilmu tentang Yesus Kristus. Kristologi memperkenalkan kita kepada karya Allah yang objektif untuk menjembatani jarak pemisah yang ada. Kristologi menunjukkan kepada kita bagaimana Allah datang kepada manusia untuk menyingkirkan penghalang antara Allah dengan manusia, yaitu dengan cara memenuhi syarat-syarat hukum di dalam Kristus, dan memperbaharui manusia agar dapat kembali bersekutu dengan Tuhan dalam keadaan penuh berkat.

Untuk mendapatkan perspektif yang luas tentang Kristus maka mari kita membahas Kristologi dalam surat Ibrani. Sebab banyak teolog yang mengakui bahwa Ibrani adalah kitab yang paling tinggi Kristologinya dalam Perjanjian Baru. Doktrin yang paling menonjol dalam kitab Ibrani adalah Kristologi. Akan tetapi surat Ibrani tidak diketahui siapa penulisnya, dan perdebatan terus berlanjut mengenai kepenulisannya. Tetapi dalam Gereja mula-mula, Paulus dan Barnabas sering disebut penulis surat Ibrani. Ada juga yang menganggap Apolos sebagai penulisnya. Sedangkan pendapat Origenes berkata “Hanya Allah yang mengetahui penulis surat Ibrani dengan pasti.” Tetapi siapapun penulis surat Ibrani, tetap saja Kristologi terlihat jelas merupakan tema utama dari surat Ibrani. Dalam surat Ibrani terdapat tiga bagian Kristologi yang sangat esensial, yang akan kita bahas yaitu: pertama, Superioritas Kenabian Kristus, kedua yaitu Superioritas Keimaman Kristus dan yang terakhir yaitu Superioritas Kovenan Kristus.

Pertama, yaitu Superioritas Kenabian Kristus. Allah berbicara melalui para nabi kepada umat manusia. Di dalam Perjanjian Lama, peranan nabi sebagai Juru bicara Allah sangat vital. Philo berkata, “Nabi adalah jurubahasa Allah, dan Allah berkata-kata dalam diri nabi itu sendiri. Para nabi dipakai-Nya sebagai sarana untuk menyatakan kehendak-Nya kepada manusia. Jabatan nabi dimulai di Ulangan 18:15-18, dan juga diharapkan penggenapannya di dalam Kristus.

Dalam prolog surat Ibrani, gagasan superioritas Kenabian Kristus dapat dilihat dengan jelas dengan ungkapan: “Setelah para zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya” (Ibrani 1:1-2). Perlu diperhatikan, Kata “Anak-Nya” dalam Ayat 2, mengafirmasi bahwa Yesus adalah Anak, oleh karena Yesus adalah Anak maka Dia adalah oknum yang paling berwewenang menjadi Juru bicara Allah. Kemudian dalam ayat 1, kata “berulang kali” (Yun. Polymeros), mengindikasikan bahwa wahyu diberikan melalui para nabi berulang-ulang kali, bagian demi bagian. Setiap nabi menerima dan menyatakan sebagian dari seluruh kebenaran Allah. Tidak seorang pun nabi dalam Perjanjian Lama yang menerima kebenaran ilahi seutuhnya. Namun, berbeda dengan para nabi, Yesus tidak menerima sebagian dari kebenaran Allah. Dia juga bukan sekedar bagian dari kebenaran itu, Dia adalah kebenaran itu sendiri, kebenaran itu seutuhnya (Yoh. 14:6).

Kemudian perhatikan kata “dalam pelbagai cara” (Yun. Polytropos) dalam ayat 1. Dalam Perjanjian Lama, nabi menyampaikan pesan-pesan Allah secara verbal, juga dengan berbagai bentuk peragaan. Intinya, para nabi itu harus memakai cara-cara manusiawi untuk menyampaikan kebenaran Allah yang diterimanya. Namun Yesus menyatakan Allah dengan diri pribadi-Nya sendiri. Di dalam Dia, Allah secara utuh menyatakan diri-Nya. Grudem dalam bukunya menyatakan: Firman Tuhan datang kepada para nabi Perjanjian Lama, akan tetapi Yesus berbicara dalam otoritas-Nya sendiri sebagai Firman Allah yang kekal (Yoh. 1:1) dengan sempurna menyatakan Bapa kepada kita (Yoh. 14:9, Ibr. 1:1-2). Para nabi terdahulu hanyalah makhluk ciptaan, akan tetapi Yesus adalah Anak Tunggal Bapa yang sehakikat dengan Bapa. Karena itu, sebagai Juru bicara Allah, Yesus jauh lebih baik dari para nabi. Secara hakikat Kristus sebagai Anak Allah, Ia lebih baik dari para nabi Perjanjian Lama, dan Yesus lebih superior dari para nabi sebelum-Nya.

Kemudian gagasan superioritas Kenabian Yesus dilanjutkan dalam Ibrani 3:1 yang menjelaskan bahwa Yesus lebih tinggi dari Musa. Guthrie berkomentar bahwa, Relasi Kristus dengan Musa juga perlu ditegakkan dan penulis menyatakan bahwa Musa hanyalah wakil dari rumah Israel dan berperan sebagai hamba sementara Kristus, sebagai Anak, Kristus memegang jabatan yang lebih tinggi. Dalam Ibrani 3:1-6, Jemaat dikaitkan dengan rumah itu dan dengan demikian otoritas Kristus atas mereka ditekankan. Sepenting apa pun peranan para nabi sebagai juru bicara Allah pada zaman dahulu, Kristus adalah Juru bicara Allah zaman akhir yang lebih unggul dari para nabi sebelumnya. 

Dalam pengertian yang lebih luas tentang nabi, nabi hanya berarti bahwa seseorang yang menyatakan Allah kepada manusia dan berbicara kepada manusia kata-kata Allah, dan dalam hal ini Kristus tentu saja benar-benar seorang nabi. Tetapi sesungguhnya, Dia adalah orang yang digambarkan oleh semua nabi Perjanjian Lama dalam ucapan dan tindakan mereka. Sebagai seorang Nabi Allah yang sempurna, Yesus adalah obyek dan subyek dari nubuat. Pribadi-Nya dan pekerjaan-Nya merupakan inti dari nubuat di Perjanjian Lama, namun Dia sendiri berperan sebagai seorang nabi. Yesus merupakan Nabi Allah yang tertinggi, yaitu Firman Allah yang menjadi daging. Yesus Kristus sebagai nabi yang lebih superior dari para nabi sebelum-Nya. Tidak ada nabi setelah Kristus, semua nabi sebelum Kristus bernubuat tentang Kristus, dan Kristus sendiri yang menggenapi semua nubuat para nabi tersebut.

Kedua, Superioritas Keimaman Kristus. Dalam Surat Ibrani bukan saja menjelaskan Superioritas Kenabian Yesus, tetapi juga menjelaskan Superioritas Keimaman Yesus Kristus. Dalam Perjanjian Lama, fungsi dan tugas imam adalah mewakili manusia di hadapan Allah, dan Yesus adalah imam yang mewakili manusia di hadapan Allah. Seorang imam adalah seorang manusia yang diangkat untuk bertindak bagi orang-orang lain dalam perkara-perkara yang berkenaan dengan Allah. Artinya, imam adalah seorang pengantara. Dalam Ibrani 5:1, terdapat penjelasan ciri-ciri khas dan pekerjaan dari seorang imam. Yaitu: (a) Imam dipilih di antara orang-orang untuk menjadi wakil mereka, (b) Imam dipilih oleh Tuhan, (c) ditetapkan bagi manusia dalam hubungannya dengan Allah, yaitu hal-hal religious, (d) pekerjaannya yang khusus adalah memberikan persembahan dan korban karena dosa. 

Dalam surat Ibrani superioritas Keimaman Kristus jelas dalam karya keimaman Kristus. Kristus sebagai Sang Pengantara, yang disebutkan sebagai satu-satunya Imam besar yang sesungguhnya, yang sempurna, yang kekal dan ditunjuk oleh Allah sendiri, yang mengambil tempat orang berdosa, dan oleh pengorbanan-Nya sendiri Ia memperoleh penebusan yang sesungguhnya dan yang sempurna (Ibr. 5:1-10, 7:1-28, 9:11-15,24,28, 10:11-14, 19:22, 12:24, dan teristimewa ayat-ayat berikut: 5:5, 7:26, 9:14). Kewajiban dari seorang Imam ialah mempersembahkan korban, mendoakan umat Allah dan memberkatinya. Di dalam jabatan-Nya sebagai Imam, Tuhan Yesus bukan mempersembahkan korban dari darah binatang, melainkan Ia mengorbankan diri-Nya sendiri, satu kali untuk selama-lamanya (Ibr. 10:10, 7:27). Di sorga Ia hidup senantiasa untuk menjadi pengantara kita (Ibr. 7:25). Fakta bahwa Yesus sendiri adalah korban bagi dosa-dosa seharusnya membuat jelas bahwa keimaman-Nya berbeda dari dan lebih tinggi daripada fungsi-fungsi imam Perjanjian Lama.

Menurut surat Ibrani (Ibr. 7) Tuhan Yesus menjadi Imam Besar menurut peraturan Melkisedek, bukan menurut peraturan Harun. Melkisedek merupakan suatu sosok Perjanjian Lama yang memberkati Abraham namun tidak diketahui latar belakangnya, dan yang keimamannya yang kekal disebut-sebut dalam Mazmur 110:4. Ia bukan keturunan Lewi, melainkan keturunan Yehuda. Hal ini diartikan demikian, bahwa Kristus memiliki jabatan imam yang kekal. Para imam Lewi yang tua harus terus menerus diganti, sebab kematian membuat mereka tidak bisa terus menjabat sebagai imam, namun Yesus tetap memegang keimaman-Nya sebab Dia hidup selama-lamanya. Superioritas Keimaman Kristus terlihat jelas bahwa Ia sebagai imam, yang memegang jabatan lebih tinggi, lebih kuat, lebih superior dari imam Harun maupun Lewi, oleh karena Yesus sebagai Imam yang hidup kekal selama-lamanya.

         Dalam sistem Perjanjian Lama, imam-imam Israel diharuskan memberi persembahan korban bukan hanya bagi orang-orang yang mereka wakili, tetapi juga bagi diri mereka sendiri, karena mereka pun orang berdosa. Akan tetapi, berlawanan dengan keimaman di bumi, korban Yesus adalah oleh Dia yang diri-Nya sendiri adalah sempurna sehingga pendamaian tidak perlu dilakukan bagi-Nya. Karena diri-Nya adalah sempurna dan pada waktu yang sama adalah juga sebagai korban, maka korban yang dibuat Yesus dengan sendiri-Nya adalah sempurna. Karena itu, korban itu dapat benar-benar membayar harga untuk dosa dan meniadakannya, sedangkan korban-korban di Israel tidak dapat. Tidak seperti korban-korban dari imam-imam Perjanjian Lama, yang harus diulang setiap hari, korban Yesus itu sempurna dan kekal, sebagai buktinya Ia sekarang duduk di sebelah kanan Allah (Ibrani 10:12-14). Karena Dia “satu kali untuk selama-lamanya” telah “mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai korban,” tidak perlu lagi mempersembahkan korban-korban lain. Korban-Nya sudah selesai, sempurna, dan efektif. Stott dalam bukunya menyatakan bahwa, korban-korban Perjanjian Lama hanya mendapatkan penyucian bagi kenajisan seremonial; namun Yesus mendapatkan pengampunan bagi dosa-dosa kita. Hanya dengan korban yang terus-menerus orang-orang Israel bisa tetap bersih, tetapi Yesus mati sekali untuk selamanya.

         Perlu juga untuk diketahui bahwa: Kristus bertindak sebagai imam tidak hanya supaya menurut hukum kekal mengenai pendamaian dibuat-Nya Bapa bersikap baik dan lemah lembut terhadap kita, tetapi juga supaya kita diterima-Nya sebagai teman sejabatan yang begitu mulia (Why. 1:6). Superioritas Keimaman Kristus jelas bahwa, Yesus sebagai Imam besar dalam peraturan melkisedek yang kekal dan juga bukan keturunan imam Lewi yang hidup hanya sementara, akan tetapi Yesus Kristus sebagai imam yang hidup kekal selama-lamanya. Superioritas Keimaman Kristus juga dalam hal, Ia sebagai korban yang absolut bagi semua orang yang menjadikan Dia sebagai Juruselamat, dengan mati satu kali untuk selamanya.

        Kita masuk pada poin yang ketiga yaitu Superioritas Kovenan Kristus. Dalam surat Ibrani juga menjelaskan Superioritas Kovenan Kristus. Yesus Kristus sebagai imam yang unik, melalui pengorbanan-Nya yang unik dan hanya ada pada-Nya, sudah membangun suatu kovenan yang unik yang secara eksplisit terdapat dalam Ibrani 7:22, 8:6. Kovenan baru ini adalah suatu perjanjian “yang lebih kuat” (Ibr. 7:22) sebab kovenan ini diwujudkan pada “janji yang lebih tinggi” (Ibr. 8:6).

         Dalam Ibrani 8:8&9, tentang Perjanjian baru tersebut telah dinubuatkan oleh Yeremia (Yer.31:31), yang juga dikutip oleh Yesus (Bdk. Mat.26:27-28). Kata ‘baru’, di sini penulis surat Ibrani tidak menggunakan kata neos, tetapi kata kainos. Neos berarti baru: dilihat dari sudut waktu, tetapi kainos berarti baru, terutama dari segi mutu. Perjanjian yang diperkenalkan oleh Kristus adalah kainos bukan hanya neos. Perjanjian itu berbeda dari perjanjian yang lama terutama dari segi kualitasnya. Menurut Baxter, perjanjian baru bukan memperkecil perjanjian lama, namun menghormatinya dengan jalan menggenapinya. Perjanjian Baru yang dibawa oleh Kristus itu baru, bukan dari segi waktu, tetapi dari segi mutu.

         Superioritas Kovenan Kristus juga eksplisit dalam hal pengudusan yang dikerjakan oleh Kristus. Salah satu isi dari perjanjian antara Allah dan orang Israel ialah janji pengudusan. Allah tidak hanya menjanjikan penghakiman, tetapi juga restorasi dan perjanjian baru yang diperantarai oleh Kristus-lah yang akan menggenapi janji itu. Melalui perantaraan Kristus, Allah menempatkan hukum-hukum yang baru di dalam hati dan pikiran umat-Nya. Hal ini dilaksanakan oleh Kristus melalui kelahiran baru, dan dengan demikian menetapkan perjanjian yang baru dengan mereka: “Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku”. Kematian Kristus yang mendamaikan menyucikan hati nurani yang kotor dan memperbarui hati manusia sehingga orang-orang dibebaskan untuk beribadah kepada Allah yang hidup. Perjanjian yang baru oleh Kristus membuat umat manusia dapat beribadah kepada Allah, dengan penyucian hati nurani dan pembaharuan hati nurani yang dikerjakan oleh Kristus.

          Perlu untuk dimengerti bahwa, Perjanjian Lama tidak bisa menghindarkan manusia dari dampak yang mengerikan dari dosa manusia. Namun perjanjian baru yang dibawa oleh Kristus benar-benar memiliki dampak yang luar biasa. Purwantara mengutarakan bahwa: Melalui perjanjian baru (kaine diatheke) itu, Allah benar-benar akan “…menaruh belas kasihan terhadap kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa-dosa mereka”. Jadi perjanjian baru yang diperantarai oleh Kristus itu berdampak sangat substansial bagi manusia. Superioritas Kovenan Kristus sebagai pengantara bagi manusia. Karena itu Ia adalah pengantara dari suatu perjanjian yang baru, supaya mereka yang telah terpanggil dapat menerima bagian kekal yang dijanjikan (Ibr. 9:15). Karena Kristus adalah Pengantara dari kovenan yang baru dan masuk ke sorga itu sendiri untuk meraih “kelepasan yang kekal” (ay. 12), orang-orang yang Allah panggil kepada diri-Nya melalui Injil “menerima bagian kekal yang dijanjikan (ay. 15). Korban Kristus, Pengantara dari kovenan yang baru, inilah yang menebus orang-orang kudus Perjanjian Lama dari “pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan selama perjanjian yang pertama” (Ibr. 9:15).

          Jadi superioritas Kovenan Kristus jelas dalam surat Ibrani, di mana melalui perjanjian yang baru oleh Kristus, manusia dapat beribadah kepada Allah dengan proses penyucian dan pembaharuan hati nurani manusia yang dikerjakan oleh Yesus Kristus. Melalui perjanjian yang baru oleh Kristus, umat Allah memiliki pengantara di hadapan Allah, sehingga adanya penebusan dan perolehan hidup kekal bagi umat Allah yang diprantarai oleh Yesus Kristus. Maka tidak ada lagi pertanyaan tentang kovenan lain, sebab kovenan baru ini adalah kovenan yang terakhir, dan kovenan yang lebih kuat itu adalah yang terbaik. Kovenan itu tidak akan pernah tergantikan. Stott dalam bukunya mengatakan bahwa: Kristus adalah Imam “untuk selama-lamanya,” yang telah “mempersembahkan hanya satu korban saja karena dosa” dan dengan demikian membangun suatu “perjanjian (kovenan) yang kekal” yang memberikan kepada umat Allah suatu “keselamatan yang abadi” (Ibr. 5:9), suatu “kelepasan yang kekal” (Ibr. 9:12) dan suatu “bagian kekal yang dijanjikan” (Ibr.9:15).

       Maka dari pembahasan kita di atas dapat disimpulkan bahwa dalam surat Ibrani terdapat pembahasan Kristologi yang begitu unik dan menarik bagi setiap orang percaya. Bagi setiap orang percaya, surat Ibrani memberikan suatu pengharapan yang substansial dan esensial. Dalam surat Ibrani, secara eksplisit terdapat penjelasan tentang Superioritas Kenabian Kristus di antara para nabi sebelumnya, Yesus Kristus sebagai nabi yang kekal dan sebagai Juru bicara untuk menyampaikan kebenaran, sebab diri-Nya sendiri adalah kebenaran (Yoh. 14:6). Dalam surat Ibrani, secara eksplisit juga menjelaskan tentang Superioritas Keimaman Kristus yang menebus umat manusia dengan mati satu kali berdampak selamanya, dan juga sebagai Imam yang kekal bagi orang percaya dihadapan Allah. Yang terakhir surat Ibrani, secara eksplisit menjelaskan superioritas Kovenan Kristus, Perjanjian yang baru oleh Kristus membawa dampak bagi setiap orang percaya dapat beribadah kepada Allah dan juga membawa dampak bagi orang percaya mendapatkan pembaharuan dan penyucian hati nurani. Demikian deskripsi Kristologi yang subtansial dalam surat Ibrani. Semoga menjadi berkat bagi kita, Tuhan Yesus memberkati.

 

Referensi:

        [1] J.D. Douglas, Ensiklopedia Masa Kini Jilid I, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1999)

       [2] John Stott, Kristus Yang Tiada Tara, (Surabaya: Momentum, 2007)

       [3] Ola Tulluan, Introduksi Perjanjian Baru, (Batu: YPPII, 1999)

       [4] Iswara Rintis Purwantara, Kristologi dalam Kitab Ibrani, (Yogyakarta: ANDI, 2017)

       [5] Paul Enns, The Moody Handbook of Theology, (Malang: Literatur SAAT, 2016)

       [6] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Ibrani, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1896)

       [7] Wayne Grudem, Systematic Theology, (USA: Grand Rapids, 1994)

       [8] Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru Volume 3, (Surabaya: Momentum, 2010)

       [9] R. C. Sproul, Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen, (Malang: Literatur SAAT, 2016)

       [10] James Montgomery Boice, Dasar-dasar Iman Kristen, (Surabaya: Momentum, 2018)

       [11] Louis Berkhof, Teologi Sistematika 3: Doktrin Kristus, (Surabaya: Momentum, 2017)

       [12] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016)

       [13] Robert A. Peterson, Keselamatan dikerjakan oleh Sang Anak, (Surabaya: Momentum, 2018)

       [14] Yohanes Calvin, Institutio, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015)

       [15] J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab 4, Roma s/d Wahyu, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1982)

     

Comments